Depok, 4 Mei 2025 — Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai kontroversi setelah mewacanakan program Keluarga Berencana (KB), khususnya vasektomi pria, sebagai syarat bagi masyarakat prasejahtera untuk mendapatkan bantuan sosial (bansos). Usulan ini ia ungkapkan dalam rapat koordinasi kesejahteraan rakyat bertajuk “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” di Bandung, 28 April 2025 lalu.
Dedi menyebut langkah ini sebagai solusi untuk distribusi bansos yang lebih merata dan adil. Ia menyoroti banyaknya keluarga miskin dengan anak dalam jumlah besar, yang menurutnya membebani sistem sosial dan keuangan negara.
"Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tapi anaknya terus bertambah," ujar Dedi.
Ia juga mengatakan bahwa kontrasepsi pria dipilih karena metode pada perempuan seringkali tidak konsisten.
Namun, usulan tersebut langsung menuai penolakan. Sejumlah tokoh dan lembaga menyuarakan keberatan karena dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) dan bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
Reaksi dan Kritik:
-
Menko PMK Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menyatakan bahwa tidak ada regulasi nasional yang mengatur vasektomi sebagai syarat bansos, dan menegaskan bahwa kepala daerah tidak boleh membuat aturan sendiri.
-
Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menilai wacana tersebut tidak bisa diberlakukan secara paksa, karena menyentuh hak tubuh individu. Menurutnya, program KB hanya bersifat imbauan, bukan kewajiban.
-
Komnas HAM mengingatkan bahwa pemaksaan tindakan medis seperti vasektomi melanggar hak privasi dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, apalagi bila dikaitkan dengan penerimaan bansos.
-
Organisasi keagamaan, termasuk PBNU dan MUI Jawa Barat, menolak keras usulan tersebut. Mereka menyatakan bahwa vasektomi—yang dianggap sebagai bentuk pemandulan permanen—bertentangan dengan ajaran Islam, kecuali dalam kondisi medis tertentu.
Kesimpulan:
Wacana Dedi Mulyadi memunculkan diskusi nasional mengenai batas intervensi negara dalam urusan keluarga dan tubuh warganya. Meskipun tujuannya diklaim untuk efisiensi dan pemerataan bansos, banyak pihak menilai pendekatan tersebut melanggar prinsip keadilan sosial, hak individu, dan nilai-nilai agama.