Selasa, 6 Mei 2025 | 19:17 WIB
Jakarta – Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Selly Andriany Gantina, menyatakan keprihatinannya atas usulan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mewacanakan program vasektomi sebagai syarat bagi penerima bantuan sosial (bansos). Ia menilai kebijakan tersebut kurang tepat dan meminta Pemprov Jabar untuk mengkajinya kembali secara komprehensif.
“Saya justru merasa prihatin jika penerima bansos dikaitkan dengan masalah vasektomi. Sepertinya Pemprov Jabar perlu mengkaji kembali usulan ini,” ujar Selly di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Selly menekankan bahwa kebijakan tersebut harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk norma agama dan hukum Islam.
“Kita tahu banyak penerima bansos yang memiliki banyak anak, bukan karena keinginan semata. Maka dari itu, perlu dikaji apakah wacana vasektomi ini sesuai dengan syariat Islam sebagaimana pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI),” jelasnya.
Ia mendorong agar bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemprov Jabar segera berkoordinasi dengan MUI Provinsi Jawa Barat sebelum mengambil langkah lebih lanjut.
“Kalau hari ini penerima bansos anaknya sudah banyak, lalu untuk apa juga divasektomi?” tambah Selly.
Lebih lanjut, ia mengingatkan pentingnya konsistensi kebijakan antardaerah agar tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.
“Jangan sampai kebijakan ini dimaknai berbeda antara provinsi dengan kabupaten/kota. Menurut saya, wacana ini kurang tepat, karena kriteria penerima bansos seharusnya tidak hanya berdasarkan jumlah anggota keluarga, tetapi juga memperhatikan aspek budaya dan sosial masyarakat setempat,” tegasnya.
Konteks Wacana KB sebagai Syarat Bansos
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, sebelumnya menyampaikan rencana memperketat syarat pemberian bansos, salah satunya dengan mewajibkan partisipasi dalam program Keluarga Berencana (KB), terutama bagi laki-laki melalui metode vasektomi.
“Boleh dipasang listrik, tapi harus KB dulu. Anak mau dapat beasiswa? Bisa, tapi ibunya harus ikut KB dulu. Bantuan Rutilahu juga begitu, harus KB dulu,” kata Dedi, dikutip dari detikJabar (29/4).
“Sekarang saya ingin yang ikut KB itu laki-laki,” tambahnya.
Wacana ini menuai pro dan kontra, termasuk kritik dari kalangan legislatif yang menilai kebijakan tersebut perlu kehati-hatian dan pendekatan sosial-budaya yang lebih sensitif.